Sejak kecil, aku selalu dibandingkan dengan adikku. Apa pun yang kulakukan, seolah tak pernah cukup di mata mereka. Jika aku berhasil, itu hal biasa. Tapi jika adikku berhasil, itu luar biasa. Jika aku gagal, itu kesalahan besar. Tapi jika adikku gagal, itu wajar karena "setidaknya sudah mencoba."
Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku tidak cukup baik hanya dengan menjadi diriku sendiri? Kenapa harus selalu ada perbandingan? Aku dan dia berbeda. Kami punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku ingin dihargai atas usahaku, bukan dibanding-bandingkan seolah-olah aku harus menjadi seseorang yang bukan diriku.
Tapi semakin aku mencoba membuktikan diri, semakin aku merasa lelah. Bukan karena aku tak mampu, tapi karena aku sadar, tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tetap akan menjadi sosok yang selalu dibandingkan. Aku hanya ingin didengar, dimengerti, dan diterima apa adanya—bukan sebagai bayangan orang lain, tapi sebagai diriku sendiri. Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik, tapi sepertinya itu tidak pernah cukup. Di mata keluargaku, adikku selalu lebih baik. Lebih pintar, lebih berbakat, lebih membanggakan. Setiap kesuksesannya dirayakan, sementara usahaku hanya dianggap angin lalu.
Aku mencoba memahami, mungkin mereka tidak sadar bahwa perbandingan ini menyakitiku. Tapi semakin lama, semakin aku merasa tidak dihargai. Aku lelah mendengar kata-kata seperti "Coba lihat adikmu, dia bisa, kenapa kamu tidak?" atau "Belajarlah dari adikmu, dia lebih rajin." Seolah apa pun yang kulakukan selalu salah di mata mereka.
Aku bukan dia. Aku punya caraku sendiri, impianku sendiri. Aku ingin mereka melihatku bukan sebagai seseorang yang harus menyaingi adikku, tapi sebagai individu yang juga berhak diakui dan dicintai tanpa harus dibandingkan. Karena aku pun berharga, meskipun caraku berbeda.