Hari itu, seperti biasa, mereka menertawakan aku. Cara jalan aku, wajah aku, bahkan pakaian yang aku kenakan kenakan—mereka bilang jelek, kuno, ga ngerti fashion. Semuanya jadi bahan ejekan. Tak cukup sampai di situ, Dilingkungan keluarga perbandingan dengan anak tetangga dan saudaranya seolah tak pernah berhenti.
"Kamu bisa ga kaya dia?"
"Coba lihat noh si S, mukanya bersih, pinter lagi kalo dandan sama milih baju. Ga sembarangan kaya kamu!"
Aku ingin bertanya, "Apa aku tidak cukup?"
Tapi aku tahu jawabannya.
Bagi mereka, aku selalu kurang.
Tetangga dan anak-anak di sekolah pun ikut mengejek aku juga.
"Lihat cara jalannya!"
"Mukanya aneh."
"Pakaiannya jelek, kayak orang ketinggalan zaman."
Aku mencoba mengabaikan, tapi kata-kata mereka melekat di kepalaku.
Luka itu mungkin tidak sepenuhnya hilang.
Kadang masih terasa nyeri saat aku mengingatnya.
Tapi luka itu tidak lagi mendikte hidupku.
Dan itu cukup.