Aku selalu bertanya kepada Tuhan, kenapa mereka menyakitiku, sedangkan jika diri mereka sendiri yang disakiti mereka tidak berkenan. Mungkin dengan menyakitiku, bisa membuat diri mereka bahagia. Mungkin karena aku terlahir buruk rupa, tidak sempurna, tidak kaya, bodoh, tidak seperti mereka. Lalu mereka merasa terganggu. Baiklah kusimpulkan saja seperti itu dulu, sembari menunggu jawaban dari Tuhan.
Waktu itu mereka kutemui saat umurku 4, 5, 6, 7, 8,9,10,11,12, 13,14,15,16,17,18,19, 23, 24, 27, 28, 29, 31 tahun. Dengan nama dan orang yang berbeda-beda, tapi mereka punya kesamaan yang sama yaitu sama-sama suka menyakitiku. Di setiap umurku itu, aku pernah berkata ke diriku sendiri, bahwa aku ingin balas dendam kepada mereka, tapi akupun begitu sangat takut untuk membalasnya.
Semakin aku beranjak dewasa, ternyata mereka bukan hanya bisa kutemui di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Waktu itu, mau tidak mau aku harus menemui mereka, untuk menjalani hidup yang normal, layaknya seperti kebanyakan orang, bersekolah, kuliah dan berkerja. Aku dipukuli, dihina, diejek, diolok-olok, diancam, dituduh, difitnah, dipermalukan di tempat umum, dilecehkan, dibuang seperti sampah.
Aku selalu bertanya kepada Tuhan, apa rencana-Nya kenapa aku selalu bertemu dengan mereka. Untuk pertanyaan kali ini, aku sulit menyimpulkannya. Aku tetap menunggu jawaban dari Tuhan.
Sampai pada hari, di mana aku dipertemukan dengan sosok yang berbeda dari mereka. Sosok itu memberi tahuku balas dendam terbaik. Sosok itu bernama Ali bin Abi Thalib, aku tidak langsung bertemu dengannya, hanya membaca tulisannya di dunia maya, kupikir saran dari tulisannya itu tidak ada salahnya jika kulakukan. Begini saran tulisannya "Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik."
Kemudian aku melakukannya, aku menjadikan diriku ke versi yang lebih baik, dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat, salah satunya dengan menulis cerita fiksi. Aku mulai bahagia setelah melakukannya, bahkan semakin hari semakin sering kulakukan.
Ternyata rencana Tuhan mempertemukanku dengan mereka, agar aku bisa memperbaiki versi dari diriku yang dulu untuk menjadi lebih baik lagi. Setidaknya aku merasa bahagia ketika aku menulis cerita fiksi. Karena dengan begitu, aku bisa menyembuhkan lukaku dari mereka. Baiklah kusimpulkan saja seperti itu dulu, sembari menunggu jawaban dari Tuhan secara langsung.