Beri reaksi
Komentari
Lihat detail
Masuk
Tayang 746x
Ayah dan Anak

Sekitar matanya membiru, sedikit bengkak. Sepertinya tinju yang pernah bersarang di sana tidak terlalu kuat.
Malah mungkin cuma egonya saja yang terluka, pikir si ayah, mengamati anak laki-lakinya. Tengah meringis kesal sambil mengepalkan tangan di atas meja makan.
Ayah dan anak itu duduk berseberangan di meja makan.
"Sekarang kamu kesal karena apa? Karena di hukum?" tanya si ayah.
"Ini tidak adil! Mereka yang memukuli temanku! Apa aku mesti diam saja melihatnya?" rajuk si anak.
"Nah, sekarang Ayah malah kecewa sama kamu. Padahal sebelum kamu ucapkan itu Ayah malah bangga sama kamu. Kamu bela teman kamu padahal kamu kalah jumlah."
"Lalu kenapa aku dihukum juga?" jerit si anak, marah.
Si ayah menghela napas panjang. "Jadi kamu memilih membela teman kamu tapi kamu tidak siap menanggung akibatnya?"
Si anak menatap ayahnya, heran. "Tapi seharusnya Bu Guru membela aku!"
"Oh, tidak, tidak. Kamu memilih membela teman kamu, dan gurumu terikat aturan sekolah yang tidak mengijinkan perkelahian apapun bentuknya. Apa kamu juga sadar soal itu?"
Si anak menunduk, matanya bergerak, tangannya mengepal. Tampak jelas dia tidak terima.
"Itu bullshit!" desis si anak.
Si ayah tertawa dan secepatnya mengafirmasi, "Tepat sekali! Memang BS, lalu apa yang akan kamu lakukan? Menyesali pilihan kamu membela teman kamu?"
Bahu si anak melemas, kepalanya tertunduk, rasa penyesalan memang merasuki pikirannya. Namun tiba-tiba dia tersentak kaget karena si ayah mendadak memukul meja.
"Angkat kepalamu, nak! Penyesalan tidak membuatmu urung dihukum! Jadi apa yang akan kamu lakukan?"
Si anak terbelalak menatap ayahnya.
Si ayah tersenyum meski sebenarnya ingin meringis karena tangannya terasa pedih setelah memukul meja makan, tapi dia tidak bisa mundur. Dia sudah sejauh ini mendorong anaknya.
Mata si anak kembali bergerak-gerak cepat, tampak berpikir keras.
"Maksud Ayah, aku jangan menyesal?" gumam si anak, setengah ragu.
"Well, mereka yang memukuli temanmu juga kena hukuman, bukan? Yang membedakannya hanya kamu memegang prinsip untuk membela teman kamu, jadi bukankah lebih baik kamu tunjukkan diri kalau hukuman ini tidak berpengaruh bagimu?"
Si anak kembali terbelalak matanya. Kini ia menyadari sesuatu.
"Intinya sebenarnya, mau melawan atau tidak, mau membela temanmu atau tidak, itu adalah pilihan kamu. Yang salah dari semua pilihan itu hanyalah kamu tidak mau bertanggungjawab terhadap pilihan kamu sendiri," jelas si ayah.
Akhirnya si anak tersenyum, jua memancing ayahnya tersenyum. Mereka akhirnya sepaham.
"Bagaimana menurut pendapat Ayah kalau misalkan nanti selesai masa hukuman, aku bilang ke bu guru kalau aku minta maaf, tapi aku juga tidak menyesal membela teman?"
"Nah, itu tindakan yang tepat! Tambahkan juga kalau di masa depan tidak ada jaminan kamu tidak akan mengulanginya lagi, tapi kamu siap menanggung akibatnya."
Si anak termanggu sejenak sambil mengusap dagu. "Sepertinya aku mesti susun kalimatnya dulu. Thanks, Yah!"
Si anak beranjak dan hendak meninggalkan meja makan.
"No problemo. Tapi itu, temanmu beruntung ya, punya teman macam kamu."
Si anak telah mencapai pintu dan urung melewatinya. Ia berpaling ke ayahnya dan menjawab, "Tapi aku lebih beruntung punya ayah macam Ayah."
Si ayah mendekus kencang dan segera menanggapi, "Dah pergi sana! Jangan bertingkah sok keren!"
Si anak tertawa dan pergi.
Tinggallah si ayah yang kemudian termenung. Termenung cukup lama dan diakhiri dengan gumaman lirih, "You're so cool, my son! I'm proud of you ...."

1
Berikan reaksi pada cerita ini
Terima Kasih
Semangat
Sayang Kamu
Peluk
Menginspirasi
Laporkan
Kuatkan Dirimu
Jangan Menyerah
Hormat
Empati
Dukung
Bersamamu
Berbagi Pengalaman
Komentar (0)
Belum ada komentar