Halo, namaku Refal. Umurku sekarang 20 tahun, dan aku besar di Muaro Bodi, Sumatra Barat.
Aku tidak pernah menyangka, menjadi berbeda bisa terasa seburuk itu. Aku tidak pernah berniat menjadi pusat perhatian—aku hanya suka menulis, lebih nyaman duduk di pojok kelas dengan buku catatan daripada bermain atau bercanda keras-keras. Tapi rupanya, diamku dianggap aneh. Pilihanku untuk tidak ikut arus malah membuatku menjadi bahan tertawaan.
Mereka mulai dengan panggilan-panggilan kecil. Julukan yang aneh, terkadang kasar, seringkali penuh ejekan. Awalnya aku pura-pura tidak dengar, berpikir mungkin mereka hanya iseng. Tapi semakin lama, semakin banyak yang ikut. Tawa mereka seperti gema di kepalaku, bahkan ketika aku sudah di rumah. Aku mulai mempertanyakan diriku sendiri—apa aku memang pantas diejek seperti itu?
Aku tidak pernah menangis di depan mereka. Tapi setiap malam, air mataku jatuh tanpa bisa dicegah. Aku mulai menarik diri. Menjauh dari teman, dari kegiatan kelas, dari kepercayaan diri yang dulu masih aku punya. Bahkan guru pun tak pernah benar-benar tahu, karena aku pandai menyembunyikan luka. Yang terlihat hanya anak pendiam yang tak pernah ikut keramaian.
Lucunya, aku sempat menyalahkan diri sendiri. Mungkin memang aku yang terlalu sensitif. Mungkin aku terlalu lemah. Tapi sekarang aku tahu: bukan salahku.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari bahwa apa yang aku alami bukan hanya "candaan anak-anak”. Itu bentuk dari kekerasan yang tidak terlihat luka fisiknya, tapi meninggalkan bekas di dalam hati. Sampai hari ini, aku masih berjuang membangun kembali rasa percaya diri yang dulu mereka hancurkan.
Aku menuliskan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk berdamai. Untuk memberi suara pada luka yang lama kupendam. Karena aku percaya, perubahan tidak datang dari diam. Perubahan datang dari keberanian untuk bersuara, dari luka yang disuarakan agar tak lagi terulang.
Jika kamu membaca ini dan pernah menjadi korban—aku ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Suaramu penting. Ceritamu berharga.
Dan jika kamu pernah menjadi pelaku, sadarilah bahwa kata-kata bisa membekas lebih dalam dari yang kamu kira. Tapi penyesalan bisa jadi awal perubahan.
Dulu aku diam. Sekarang, aku memilih bersuara.
Karena aku tahu, di luar sana, ada anak yang sedang menahan tangis di kamar, takut besok harus kembali menghadapi ejekan yang sama. Dan kalau suaraku bisa membuat satu hati merasa sedikit lebih kuat, maka semuanya tak sia-sia.