Suatu malam yang dingin, di sebuah warung kopi tua di pinggir terminal yang ramai dengan hiruk pikuk bus dan pejalan kaki, aku duduk seorang diri, menyesap kopi pahit yang terasa senada dengan hatiku. Seorang bapak tua penjual koran dengan wajah keriput namun mata yang teduh menghampiriku.
"Kenapa kamu keliatan kosong seperti gelas yang belum terisi, Nak?" tanya si bapak sambil menyeduh kopi hitam pekat di cangkir yang usang.
"Aku sedang mencari jati diriku, Pak. siapa aku, Dan apa tujuan hidupku." jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam kebisingan terminal.
Bapak itu tertawa kecil, sebuah tawa renyah yang menenangkan. "Nak, kita ini bukan buku yang hilang bab-nya. Kita ini seperti kopi. Baru terasa nikmatnya setelah diseduh dengan air panas. Kadang pahit seperti kenangan yang menyakitkan, kadang hangat seperti pelukan keluarga. Tapi semua rasa itu, pahit maupun manis, adalah bagian utuh dari diri kita."
Malam itu, kata-kata sederhana itu meresap ke dalam hatiku lebih dalam dari nasihat-nasihat bijak yang pernah ku dengar. Analogi tentang kopi itu membuka sudut pandang baru bagiku. Mungkin, mencari jati diri bukanlah tentang menemukan sesuatu yang hilang, tapi tentang menerima diri kita apa adanya..
Beberapa bulan kemudian, setelah merasakan asam garam kehidupan jalanan dan merenungkan setiap pertemuan dan pengalaman, aku memutuskan untuk kembali. Bukan karena aku menyerah atau gagal menemukan jawaban yang ku cari, melainkan karena dalam perjalananku, aku telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: pemahaman tentang proses pencarian itu sendiri. Aku kembali bukan sebagai sosok yang sempurna tanpa luka, tapi sebagai seorang pemuda yang berani mengakui kerapuhan diriku dan belajar dari setiap langkah yang telah ku ambil.
Di depan pintu rumahku, ibuku berdiri dengan mata sembab namun penuh kelegaan. Tangis haru pecah saat kami berpelukan erat, rindu yang selama ini tertahan akhirnya menemukan jalannya.
"Apa kamu sudah menemukan jawaban yang kamu cari, Nak?" tanya ibuku dengan suara bergetar.
Aku tersenyum, memandangi langit pagi yang kini terasa lebih cerah dan hangat dari yang ku ingat. "Aku belum sepenuhnya tahu jawaban atas semua pertanyaanku, Bu. Tapi sekarang, aku lebih mengerti siapa diriku yang sebenarnya... dan aku ingin melangkah maju, bukan lagi karena ketakutan akan ekspektasi orang lain, tapi karena keinginan yang tulus untuk terus tumbuh dan menjadi pribadi yang lebih baik".